Rabu, 18 April 2012

DERET FIBINACCI

        Orang Kristen menolak angka nol; namun pedagang dalam melakukan transaksi membutuhkan angka nol. Alasan yang dipakai oleh Fibonacci adalah nol sebagai batas. Apabila diperoleh hasil negatif berarti kerugian. Orang yang mengenalkan angka nol ini ke dunia Barat adalah Leonardo dari Pisa. Meskipun ayahnya seorang Konsul sekaligus pedagang, profesi Fibonacci – tidak mau menjadi konsul, adalah seorang pedagang. Anak muda – yang lebih dikenal dengan nama Fibonacci – belajar matematika dari orang-orang Islam dan menjadi matematikawan piawai dengan cara belajar sendiri. Menemukan deret bilangan yang diberi nama seperti namanya. Deret Fibbonacci yaitu: 0, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, 55, 89, 144, 233, 377, 610, 987 …
Pola deret di atas terbentuk dari susunan bilangan berurutan (dari kecil makin besar) yaitu merupakan penjumlahan dua bilangan sebelumnya. Angka 3, urutan kelima, adalah hasil penjumlahan 1 (urutan 3) + 2 (urutan 4); angka 5 urutan keenam, adalah hasil penjumlahan 2 (urutan 4) + 3 (urutan 5); angka 8 urutan ketujuh, adalah hasil penjumlahan 3 (urutan 5) + 5 (urutan 6) dan seterusnya. Deret di atas mampu menjawab problem kelinci beranak-pinak, alur bunga lily, pola dan jumlah mata nanas, jumlah kelopak dan alur spiral bunga jenis-jenis tertentu. Lewat deret Fibonacci ini dapat diketahui urutan atau alur yang akurat pada alam. Ukuran ruangan binatang berkulit lunak (moluska) yang berbentuk spiral, nautilus *; jumlah searah jarum jam atau berlawanan jarum jam ‘mata‘ nanas, jumlah kelopak bunga matahari dan ada 2 alur spiral (ke kanan 34 dan ke kiri 55) sesuai dengan deret Fibonacci.

The Golden section in architecture

The ancient Greeks knew of a rectangle whose sides are in the golden proportion (1 : 1.618 which is the same as 0.618 : 1). It occurs naturally in some of the proportions of the Five Platonic Solids (as we have already seen). A construction for the golden section point is found in Euclid's Elements. The golden rectangle is supposed to appear in many of the proportions of that famous ancient Greek temple, the Parthenon, in the Acropolis in Athens, Greece but there is no original documentary evidence that this was deliberately designed in. (There is a replica of the original building (accurate to one-eighth of an inch!) at Nashville which calls itself "The Athens of South USA".)

The Acropolis (see a plan diagram or Roy George's plan of the Parthenon with active spots to click on to view photographs), in the centre of Athens, is an outcrop of rock that dominates the ancient city. Its most famous monument is the Parthenon, a temple to the goddess Athena built around 430 or 440 BC. It is largely in ruins but is now undergoing some restoration (see the photos at Roy George's site in the link above).
Again there are no original plans of the Parthenon itself. It appears to be built on a design of golden rectangles and root-5 rectangles:
  • the front view (see diagram above): a golden rectangle, Phi times as wide as it is high
  • the plan view: sqrt5 as long as the front is wide so the floor area is a square-root-of-5 rectangle
However, due to the top part being missing and the base being curved to counteract an optical illusion of level lines appearing bowed, these are only an approximate measures but reasonably good ones.
The Panthenon image here shows clear golden sections in the placing of the three horizontal lines but the overall shape and the other prominent features are not golden section ratios. Libero Patrignani - Pantheon
Pantheon, Libero Patrignani



 
Sidik Jari Tuhan

wisnuprayudha


Seorang kawan dari Mekkah menelepon seusai ritual Haji 2007 lalu. Dia tak sabar untuk menyampaikan apa yang ditemukannya.

“Sidik Jari Tuhan itu ternyata memang ada ya”.  Katanya, terdengar haru karena bahagia di telepon.

Dia pernah mendengarkan pernyataan ini di acara saya di radio Pesona FM. Dalam pengalamannya di Masjidil Haram, Mekkah itu, katanya, semua kejadian di masa lalu yang disembunyikan rapat-rapat selama ini tak kuasa ia sembunyikan lagi. Semuan terbuka, menganga lebar dan dihadirkan di hadapannya.

“Apa yang bisa kita sembunyikan di kediaman-Nya. Semua yang saya sembunyikan itu merupakan keburukan yang datang dari saya. Saya yang membuatnya. Saya tahu sekarang, Wis. Semua perbuatan baikku yang sesungguhnya merupakan Sidik Jari Tuhan. Ini yang harus saya besarkan. Saya melihat diri saya adalah yang ini, yang Sidik Jari Tuhan ini. Bukan sidik jari yang saya sembunyikan itu. Saya kok kerdil sekali....“  

Ahaa....!! Senang juga, mengetahui kawan menemukan keistimewaan menyangkut rahasia dirinya. Kebaikan yang ditinggalkan dalam jejak-jejak kehidupannya. Menemukan  Sidik Jari Tuhan dalam dirinya. Sidik jari, dalam pemahaman saya, jejak yang kita tinggalkan di suatu tempat dalam sebuah momen kehidupan. Tak ada cara yang bisa kita pakai untuk menghapus setiap jejak-jejak yang kita tinggalkan itu. Jejak itu bahkan melekat dengan diri kita. Jejak fisiknya boleh terhapus. Tapi tidak dalam memori nurani kita. Dan tidak juga bagi dunia. Ia akan tercatat sebagai sejarah yang kita ukir tentang diri kita, bagi dunia. Kemana pun kita pergi, ia selalu kita bawa. Itulah agaknya, menurut Gede Prama, sahabat yang kerap saya ajak ngobrol di radio pesona FM, beberapa kali menggunakan istilah ini dalam kaitannya dengan pencarian cinta diri kita secara spiritual. Carilah Sidik Jari Tuhan dalam setiap perbuatan kita. Agar jejak yang kita tinggalkan memantulkan kebaikan bagi dunia.

Sekedar perbandingan. Dalam kriminilogi, istilah ini rupanya digunakan untuk menelusuri jejak siapa pelaku sebuah perbuatan. Bedanya, dalam spiritual, istilah ini digunakan untuk menegaskan bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tak bisa lekang dari pantauan Tuhan. Kalau kriminolog menggunakannya sebagai alat bukti bahwa kitalah pelakunya. Maka spiritualis menggunakannya untuk kita “menangkap” siapa diri kita dalam momen-momen kejadian yang pernah kita lewati itu. Tidak akan pernah bisa kita bersembunyi dari jejak kita sendiri.

Tak ada perbuatan yang tidak diketahui Tuhan. Itulah sebabnya, selalau ada ada Sidik Jari Tuhan dalam setiap momen yang kita lalui dalam kehidupan. Bahwa Tuhan itu terasa hadir atau tidak, tergantung bagaimana kita memaknai setiap momen-momen itu. Dalam Islam, orang-orang yang paham betul sistem kerja Sidik Jari Tuhan ini disebut orang-orang Muhsinin. Mereka tahu betul hukum kerja Sidik Jari Tuhan ini. Bahwa mereka tidak bisa melihat Tuhan itu bukan lagi yang mereka soalkan. Tuhan melihat mereka dan tidak merasa diawasi-Nya, itu yang terpenting.  Karena orang yang ihsan biasanya kesadaran spiritualnya mengawasi dirinya sendiri. Itu hebatnya. Sehingga yang mereka ukir dalam kehidupan adalah Sidik Jari Tuhan berupa kebaikan bagi dunia.

Anda termasuk orang yang seringkali dipuji dan dimuliakan?. Berbahagialah karena Anda memiliki Sidik Jari Tuhan yang, menurut manusia, pantas dimuliakan. Kebaikan Anda telah menjadi sidik jari itu. Dan diri Anda adalah kebaikan itu. Tapi ingatlah, kata Sufi Syeik Athailah As-Sakandari dalam salah satu buku terpopulernya al-Hikam, bahwa ketika orang memuliakan Anda sebenarnya mereka tengah memuji kerapihan cara Tuhan menutupi kelemahan dan kejelekan Anda. Seandainya orang mengetahui kejelekan Anda, tentu saja, mereka tidak akan mau memuliakan Anda. Hanya Tuhanlah yang memuliakan Anda, meski Anda masih menyimpan sejumlah kejelekan yang Anda rahasiakan.

Maka tinggalkanlah Sidik Jari Tuhan dalam setiap peristiwa di mana kita terlibat di dalamnya. Di mana saja, kapan saja. Kita berbuat baik karena Tuhan. Karena Sidik Jari-Nya. Karena ingin dimuliakan-Nya. Bukan karena manusia dan apalagi untuk sekedar dimuliakan manusia.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar